PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA MASA NIFAS
by indah ydr
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehamilan
dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis yang pada sebagian
besar wanita berakhir dengan normal dan tanpa komplikasi (Departmen of Health,
1993). Selama hamil, terjadi
perubahan pada sistem tubuh wanita, diantaranya terjadi perubahan pada sistem
reproduksi, sistem pencernaan, sistem perkemihan, sistem musculoskeletal,
sistem endokrin, sistem kardiovaskuler, sistem hematologi, dan perubahan pada
tanda-tanda vital. Pada masa postpartum perubahan-perubahan tersebut akan
kembali menjadi seperti saat sebelum hamil.
Pada
akhir masa puerperium, pemulihan persalinan secara umum dianggap telah lengkap.
Pandangan ini mungkin terlalu optimis. Bagi banyak wanita, pemulihan adalah
sesuatu yang berlangsung terjadi dan menjadi seorang ibu adalah proses
fisiologis yang normal. Namun, beberapa studi terbaru mengungkapkan bahwa
masalah-masalah kesehatan jangka panjang yang terjadi setelah melahirkan adalah
masalah yang banyak ditemui (Hillan, 1992; glazener et al. 1993; bick dan
MacArthur, 1995) dsan dapat berlangsung dalam waktu lama (macArthur et al.
1991).
Pengetahuan menyeluruh tentang perubahan fisiologis dan
psikologis pada masa puerperium adalah sangat penting jika bidan menilai status
kesehatan ibu secara akurat dan memastikan bahwa pemulihan sesuai dengan
standar yang diharapkan. Hal yang sama pentingnya adalah menyadari potensi
morbiditas pascapartum dalam jangka panjang dan factor-faktor yang berhubungan
dengannnya seperti obstetric, anestesi dan factor social.
A.
Rumusan
Masalah
a. Definisi
nifas
b. Perubahan
fisiologis TTV pada masa nifas
c. Perubahan
fisiologis system kardiovaskuler pada masa nifas
a. Perubahan
fisiologis TTV pada masa nifas
perubahan fisiologis masa nifas khususnya pada system pencernaan dan system
perkemihan
perubahan-perubahan
fisiologis yang terjadi pada system musculus atau otot pada ibu nifas
B.
Tujuan Penulisan
a. Mengetahui
defenisi nifas
b. Mengetahui perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi
pada TTV ibu
nifas
c. Mengetahui
perubahan fisiologis system kardiovaskuler pada masa nifas
a. Mengetahui perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi
pada TTV ibu
nifas
b. Mengetahui
perubahan fisiologis system kardiovaskuler, sistem pencernaan, perkemihan dan sistem muskulus dan otot pada masa nifas
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Nifas
Periode
pascapartum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini kadang-kadang
disebut puerperium atau trimester ke empat kehamilan. Perubahan fisiologis yang
terjadi sangat jelas, walaupun dianggap normal, di mana proses-proses pada
kehamilan berjalan terbalik. Banyak factor, termasuk tingkat energi, tingkat
kenyamanan, kesehatan bayi baru lahir, dan perawatan serta dorongan semangat
yang diberikan tenaga kesehatan professional ikut membentuk respons ibu
terhadap bayinya selama masa ini. Untuk memberi perawatan yang menguntungkan
ibu, bayi, dan keluarganya, seorang perawat harus mampu memanfaatkan pengetahuannnya
tentang anatomi dan fisiologi ibu pada periode pemulihan.
Masa
nifas adalah masa setelah melahirkan hingga pulihnya rahim dan organ kewanitaan
yang umumnya diiringi dengan keluarnya darah nifas, berlangsung selama kurang
lebih 6 minggu atau 42 hari, namun secara keseluruhan akan pulih
dalam waktu 3 bulan.
Pada masa nifas ini ibu akan mendapati beberapa perubahan
pada tubuh maupun emosi. Bagi yang belum mengetahui hal ini tentu akan merasa
khawatir akan perubahan yang terjadi, oleh sebab itu penting bagi ibu memahami
apa saja perubahan yang terjadi agar dapat menangani dan mengenali tanda bahaya
secara dini.
B.
Perubahan
Fisiologis Masa Nifas Pada Tanda-Tanda Vital
Pada masa nifas,
tanda-tanda vital yang harus dikaji antara lain:
1.
Suhu tubuh
2.
Nadi
3.
Tekanan darah
4.
Pernafasan
v Suhu
tubuh
Suhu tubuh
wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 derajat Celcius. Pasca melahirkan, suhu
tubuh dapat naik kurang lebih 0,5 derajat Celcius dari keadaan normal. Kenaikan
suhu badan ini akibat dari kerja keras sewaktu melahirkan, kehilangan cairan
maupun kelelahan. Kurang lebih pada hari ke-4 post partum, suhu badan akan naik
lagi. Hal ini diakibatkan ada pembentukan ASI, kemungkinan payudara membengkak,
maupun kemungkinan infeksi pada endometrium, mastitis, traktus genitalis ataupun
sistem lain. Apabila kenaikan suhu di atas 38 derajat celcius, waspada terhadap
infeksi post partum.
v Nadi
Denyut nadi
normal pada orang dewasa 60-80 kali per menit. Pasca melahirkan, denyut nadi
dapat menjadi bradikardi maupun lebih cepat. Denyut nadi yang melebihi 100 kali
per menit, harus waspada kemungkinan infeksi atau perdarahan post partum.
v Tekanan
darah
Tekanan darah
adalah tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri ketika darah dipompa
oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan darah normal manusia
adalah sistolik antara 90-120 mmHg dan diastolik 60-80 mmHg. Pasca melahirkan
pada kasus normal, tekanan darah biasanya tidak berubah. Perubahan tekanan
darah menjadi lebih rendah pasca melahirkan dapat diakibatkan oleh perdarahan.
Sedangkan tekanan darah tinggi pada post partum merupakan tanda terjadinya pre
eklamsia post partum. Namun demikian, hal tersebut sangat jarang terjadi.
v Pernafasan
Frekuensi
pernafasan normal pada orang dewasa adalah 16-24 kali per menit. Pada ibu post partum
umumnya pernafasan lambat atau normal. Hal ini dikarenakan ibu dalam keadaan
pemulihan atau dalam kondisi istirahat. Keadaan pernafasan selalu berhubungan
dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernafasan
juga akan mengikutinya, kecuali apabila ada gangguan khusus pada saluran nafas.
Bila pernafasan pada masa post partum menjadi lebih cepat, kemungkinan ada
tanda-tanda syok.
C.
Perubahan
fisiologis Pada Sistem Kardiovaskuler
Perubahan
volume darah
Perubahan volume darah tergantung pada beberapa
faktor, misalnya kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi serta
pengeluaran cairan ekstravaskuler (edema fisiologis). Kehilangan darah
merupakan akibat penurunan volume darah total yang cepat, tetapi terbatas.
Setelah itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang menyebabkan volume
darah menurun dengan lambat. Pada minggu ke 3 dan ke 4 setelah bayi lahir
volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume darah sebelum hamil.
Volume
darah normal yang diperlukan plasenta dan pembuluh darah uterin, meningkat
selama kehamilan. Diuresis terjadi akibat adanya penurunan hormon estrogen,
yang dengan cepat mengurangi volume plasma menjadi normal kembali. Meskipun
kadar estrogen menurun selama nifas, namun kadarnya masih tetap tinggi daripada
normal. Plasma darah tidak banyak mengandung cairan sehingga daya koagulasi
meningkat. Aliran ini terjadi dalam 2-4 jam pertama setelah kelahiran bayi.
Selama masa ini ibu mengeluarkan banyak sekali jumlah urin. Hilangnya
progesteron membantu mengurangi retensi cairan yang melekat dengan meningkatnya
vaskuler pada jaringan tersebut selama kehamilan bersama-sama dengan trauma
selama persalinan.
Kehilangan darah pada persalinan per vaginam sekitar 300-400
cc, sedangkan kehilangan darah dengan persalinan seksio sesarea menjadi dua
kali lipat. Perubahan yang terjadi terdiri dari volume darah dan
hemokonsentrasi. Pada persalinan per vaginam, hemokonsentrasi akan naik dan
pada persalinan seksio sesarea, hemokonsentrasi cenderung stabil dan kembali normal
setelah 4-6 minggu. Pasca melahirkan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba.
Volume darah ibu relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan
dekompensasi kordis pada penderita vitum cordia. Hal ini dapat diatasi dengan
mekanisme kompensasi dengan timbulnya hemokonsentrasi sehingga volume darah
kembali seperti sediakala. Pada umumnya, hal ini terjadi pada hari ketiga
sampai kelima post patum.
Selama
kehamilan volume darah normal digunakan untuk menampung aliran darah yang
meningkat, yang diperlukan oleh plasenta dan pembuluh darah uterin. Penarikan
kembali esterogen menyebabkan diuresis terjadi, yang secara cepat mengurangi
volume plasma kembali pada proporsi normal. Aliran ini terjadi dalam 2-4 jam
pertama setelah kelahiran bayi. Selama masa ini ibu mengeluarkan banyak sekali
jumlah urin. Hilangnya progesteron membantu mengurangi retensi cairan yang
melekat dengan meningkatnya vaskuler pada jaringan tersebut selama kehamilan
bersama-sama dengan trauma selama persalinan.
Tiga perubahan fisiologi pascapartum yang melindungi wanita:
1. hilangnya sirkulasi uteroplasenta
yang mengurangi ukuran pembuluh darah maternal 10% sampai 15%
2. hilangnya fungsi endokrin plasenta
yang menghilangkan stimulus vasolitasi
3. terjadinya mobilisasi air
ekstravaskuler yang disimpanselamaa wanita hamil
Curah Jantung
Denyut jantung, volume sekuncup dan curah jantung
meningkat sepanjang masa hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadan ini
meningkat bahkan lebih tinggi selama 30 sampai 60 menit karena darah yang biasanya
melintasi sikuir uteroplasenta tiba-tiba kembali ke sirkulasi umum. Nilai ini
meningkat pada semua jenis kelahiran. Setelah terjadi diuresis yang mencolok
akibat penurunan kadar estrogen, volume darah kembali kepada keadaan tidak
hamil. Jumlah sel darah merah dan hemoglobin kembali normal pada hari ke-5.
Meskipun kadar estrogen mengalami penurunan yang sangat besar selama masa
nifas, namun kadarnya masih tetap lebih tinggi daripada normal. Plasma darah
tidak begitu mengandung cairan dan dengan demikian daya koagulasi meningkat.
Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan yang cermat dan penekanan pada
ambulasi dini.
Penarikan kembali esterogen menyebabkan diuresis
terjadi, yang secara cepat mengurangi volume plasma kembali pada proporsi
normal. Aliran ini terjadi dalam 2-4 jam pertama setelah kelahiran bayi. Selama
masa ini ibu mengeluarkan banyak sekali jumlah urin. Hilangnya progesteron
membantu mengurangi retensi cairan yang melekat dengan meningkatnya vaskuler
pada jaringan tersebut selama kehamilan bersama-sama dengan trauma selama
persalinan. Setelah persalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume
darah ibu relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan beban pada
jantung, dapat menimbulkan decompensation cordia pada penderita vitum cordia.
Keadaan ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan timbulnya
haemokonsentrasi sehingga volume darah kembali seperti sediakala, umumnya hal
ini terjadi pada hari 3-5 post partum.
Pada
Sistem Kardiovaskuler
1. Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin,
suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum terjadi bradikardi.
2. Volume darah
Menurun karena kehilangan darah dan
kembali normal 3-4 minggu
Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
Persalinan normal : 200 – 500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.
3. Perubahan hematologic
Ht meningkat, leukosit meningkat,
neutrophil meningkat.
JantungKembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.
A.
Perubahan Sistem Reproduksi pada Masa Nifas
Perubahan alat-alat genital baik interna maupun eksterna kembali seperti semula seperti sebelum hamil disebut involusi. Bidan dapat membantu ibu untuk mengatasi dan memahami perubahan-perubahan seperti:
Involusi uterus
Involusi tempat plasenta
Perubahan ligamen
Perubahan serviks
Lochia
Perubahan vulva, vagina dan perineum
1. Involusi Uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil.
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
1) Iskemia Miometrium. Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
2) Atrofi jaringan. Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormon esterogen saat pelepasan plasenta.
3) Autolysis. Hal ini merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.
4) Efek Oksitosin. Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan.
Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum hamil. Perubahan-perubahan normal pada uterus selama postpartum adalah sebagai berikut:
Involusi Uteri Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus Diameter Uterus
Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm
7 hari (minggu 1) Pertengahan pusat dan simpisis 500 gram 7,5 cm
14 hari (minggu 2) Tidak teraba 350 gram 5 cm
6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm
Dibawah ini dapat dilihat perubahan tinggi fundus uteri pada masa nifas.
Gambar. Tinggi fundus uteri pada masa nifas
2. Involusi Tempat Plasenta
Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri. Segera setelah plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir minggu ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka bekas plasenta khas sekali. Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini berlangsung di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat implantasi plasenta hingga terkelupas dan tak dipakai lagi pada pembuangan lokia.
3. Perubahan Ligamen
Setelah bayi lahir, ligamen dan diafragma pelvis fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan saat melahirkan, kembali seperti sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi pasca melahirkan antara lain: ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi; ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.
4. Perubahan pada Serviks
Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor, terkulai dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan korpus uteri berkontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteri berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukan 2–3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk.
Oleh karena hiperpalpasi dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun demikian, selesai involusi, ostium eksternum tidak sama waktu sebelum hamil. Pada umumnya ostium eksternum lebih besar, tetap ada retak-retak dan robekan-robekan pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya.
5. Lokia
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lokia.
Lokia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi basa/alkalis yang membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal.
Lokia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokia mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran lokia dapat dibagi menjadi lokia rubra, sanguilenta, serosa dan alba
Perbedaan masing-masing lokia dapat dilihat sebagai berikut:
Lokia Waktu Warna Ciri-ciri
Rubra 1-3 hari Merah kehitaman Terdiri dari sel desidua, verniks caseosa, rambut lanugo, sisa mekoneum dan sisa darah
Sanguilenta 3-7 hari Putih bercampur merah Sisa darah bercampur lendir
Serosa 7-14 hari Kekuningan/ kecoklatan Lebih sedikit darah dan lebih banyak serum, juga terdiri dari leukosit dan robekan laserasi plasenta
Alba >14 hari Putih Mengandung leukosit, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati.
Umumnya jumlah lochia lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total jumlah rata-rata pengeluaran lokia sekitar 240 hingga 270 ml.
Perubahan alat-alat genital baik interna maupun eksterna kembali seperti semula seperti sebelum hamil disebut involusi. Bidan dapat membantu ibu untuk mengatasi dan memahami perubahan-perubahan seperti:
Involusi uterus
Involusi tempat plasenta
Perubahan ligamen
Perubahan serviks
Lochia
Perubahan vulva, vagina dan perineum
1. Involusi Uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil.
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
1) Iskemia Miometrium. Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.
2) Atrofi jaringan. Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian hormon esterogen saat pelepasan plasenta.
3) Autolysis. Hal ini merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.
4) Efek Oksitosin. Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan.
Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum hamil. Perubahan-perubahan normal pada uterus selama postpartum adalah sebagai berikut:
Involusi Uteri Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus Diameter Uterus
Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm
7 hari (minggu 1) Pertengahan pusat dan simpisis 500 gram 7,5 cm
14 hari (minggu 2) Tidak teraba 350 gram 5 cm
6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm
Dibawah ini dapat dilihat perubahan tinggi fundus uteri pada masa nifas.
Gambar. Tinggi fundus uteri pada masa nifas
2. Involusi Tempat Plasenta
Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri. Segera setelah plasenta lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir minggu ke-2 hanya sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka bekas plasenta khas sekali. Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka. Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi plasenta selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini berlangsung di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat implantasi plasenta hingga terkelupas dan tak dipakai lagi pada pembuangan lokia.
3. Perubahan Ligamen
Setelah bayi lahir, ligamen dan diafragma pelvis fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan saat melahirkan, kembali seperti sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi pasca melahirkan antara lain: ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi; ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.
4. Perubahan pada Serviks
Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor, terkulai dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan korpus uteri berkontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteri berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukan 2–3 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja yang dapat masuk.
Oleh karena hiperpalpasi dan retraksi serviks, robekan serviks dapat sembuh. Namun demikian, selesai involusi, ostium eksternum tidak sama waktu sebelum hamil. Pada umumnya ostium eksternum lebih besar, tetap ada retak-retak dan robekan-robekan pada pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya.
5. Lokia
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lokia.
Lokia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi basa/alkalis yang membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal.
Lokia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokia mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran lokia dapat dibagi menjadi lokia rubra, sanguilenta, serosa dan alba
Perbedaan masing-masing lokia dapat dilihat sebagai berikut:
Lokia Waktu Warna Ciri-ciri
Rubra 1-3 hari Merah kehitaman Terdiri dari sel desidua, verniks caseosa, rambut lanugo, sisa mekoneum dan sisa darah
Sanguilenta 3-7 hari Putih bercampur merah Sisa darah bercampur lendir
Serosa 7-14 hari Kekuningan/ kecoklatan Lebih sedikit darah dan lebih banyak serum, juga terdiri dari leukosit dan robekan laserasi plasenta
Alba >14 hari Putih Mengandung leukosit, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati.
Umumnya jumlah lochia lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total jumlah rata-rata pengeluaran lokia sekitar 240 hingga 270 ml.
B.
6. Perubahan Pada Vulva, Vagina dan Perineum
Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan, setelah beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali dalam keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ke tiga. Himen tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama.
Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.
6. Perubahan Pada Vulva, Vagina dan Perineum
Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan, setelah beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali dalam keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ke tiga. Himen tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah menjadi karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama.
Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.
C.
Perubahan
Sistem Hematologi pada Masa Nifas
1. Perubahan Volume Darah
Dalam keadaan tidak hamil maka 70% dari berat badan adalah air.
- 5% diantaranya adalah cairan intravaskular.
- 70% adalah cairan intraseluler dan
- Sisanya adalah cairan interstisial
Dalam kehamilan, cairan intraseluler tidak berubah namun terjadi peningkatan volume darah dan cairan interstitsial.
Peningkatan volume plasma lebih besar dibandingkan peningkatan sel darah merah sehingga terjadi anemia dan peningkatan kadar protein sehingga kekentalan (viskositas) darah menurun.
2. Perubahan Vaskular Lokal
Perubahan lokal terlihat jelas pada tungkai bawah dan akibat tekanan yang ditimbulkan oleh uterus terhadap vena pelvik. Oleh karena 1/3 darah dalam sirkulasi berada dalam tungkai bawah maka peningkatan tekanan terhadap vena akan menyebabkan varises dan edema vulva dan tungkai. Keadaan ini lebih sering terjadi pada siang hari akibat sering berdiri. Keadaan ini cenderung untuk reversibel saat malam dimana pasien berada dalam keadaan berbaring : edema akan direabsorbsi – venous return meningkat dan output ginjal meningkat sehingga terjadi nocturnal diuresis. Bila pasien dalam keadaan telentang, tekanan uterus terhadap vena akan juga meningkat sehingga aliran balik ke jantung menurun dan terjadi penurunan cardiac output.
Suatu contoh ekstrim terjadi saat uterus menekan vena cava dan menurunkan CO sehingga pasien terengah-engah dan dapat menjadi tidak sadarkan diri. Dapat terjadi sensasi nause dan gejala muntah. Gejala ini – SUPINE HYPOTENSIVE SYNDROME harus senantiasa diingat saat melakukan pemeriksaan kehamilan pada pasien hamil lanjut.
3. Perubahan Haematologi
Perubahan nilai hasil pemeriksaan darah seperti nilai haemoglobin merupakan akibat dari kebutuhan kehamilan yang dipengaruhi oleh peningkatan volume plasma.
Terjadi peningkatan eritrosit sebesar 18% dan terjadi peningkatan volume plasma sebesar 45%. Dengan demikian maka terjadi penurunan hitung eritrosit per mililiter dari 4.5 juta menjadi 3.8 juta. Dengan semakin bertambahnya usia kehamilan, volume plasma semakin menurun dan hitung eritrosit menjadi sedikit meningkat sehingga kadar hematokrit selama kehamilan menurun namun sedikit meningkat menjelang aterm.
Packed Cell Volume (% ase )
Non – pregnant 40 – 42
Minggu ke 20 39
Minggu ke 30 38
Minggu ke 40 40
Perubahan kadar haemoglobin paralel dengan yang terjadi pada eritrosit. Mean Cell Haemoglobin Concentration pada keadaan non pregnant adalah 34% yang berarti bahwa setiap 100 ml eritrosit mengandung 34 g haemoglobin. Nilai ini selama kehamilan tidak berubah dengan demikian maka nilai volume eritrosit total dan haemoglobin total meningkat selama kehamilan
Selama masa kehamilan kadar haemoglobin turun sampai minggu ke 36. Penurunan ini mulai terlihat pada minggu ke 12 dan nilai minimum terlihat pada minggu ke 32.
Terlihat dari data diatas bahwa tidak ada satu nilai normal yang dapat ditemukan selama kehamilan. Fakta ini penting dalam menegakkan diagnosa anemia dalam kehamilan. Pada minggu ke 30, kadar haemoglobin sebesar 105g/l adalah normal, namun nilai tersebut pada minggu ke 20 meunjukkan adanya anemia.
Jumlah hemoglobin, hematokrit dan erytrosyt akan sangat bervariasi pada awal-awal masa postpartum sebagai akibat dari volume darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Semua tingkatan ini akan dipengaruhi oleh status gizi dan hidrasi wanita tersebut. Kira-kira selama kelahiran dan masa postpartum terjadi kehilangan darah sekitar 200-500 ml.
Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke 3-7 post partum dan akan normal dalam 4-5 minggu post partum.
Jumlah kehilangan darah selama masa persalinan kurang lebih 200-500 ml, minggu pertama post partum berkisar 500-800 ml dan selama sisa masa nifas berkisar 500 ml
- Zat Besi
Dengan peningkatan jumlah eritrosit, kebutuhan akan zat besi dalam proses produksi hemoglobin meningkat. Bila suplemen zat besi tidak diberikan, kemungkinan akan terjadi anemia defisiensi zat besi.
Kebutuhan zat besi pada paruh kedua kehamilan kira-kira 6–7 mg/hari. Bila suplemen zat besi tidak tersedia, janin akan menggunakan cadangan zat besi maternal. Sehingga anemia pada neonatus jarang terjadi ; akan tetapi defisiensi zat besi berat pada ibu dapat menyebabkan persalinan preterm, abortus, dan janin mati.
- Leukosit
Terjadi kenaikan kadar leukosit selama kehamilan dari 7.109 / l dalam keadaan tidak hamil menjadi 10.5.109 / l. Peningkatan ini hampir semuanya disebabkan oleh peningkatan sel PMN – polimorfonuclear. Pada saat inpartu, jumlah sel darah putih ini akan menjadi semakin meningkat lagi.
Leukositosis adalah meningkatmya jumlah sel-sel darh putih dimana jumlah sel darah putih dapat mencapai 15000 selama persalinan akan tetap tinggi dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum. Jumlah sel darah putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25000 atau 30000 tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami persalinan lama.
- Trombosit
Pada kehamilan terjadi thromobositopoeisis akibat kebutuhan yang meningkat.
Kadar prostacyclin (PGI2) sebuah “platelet aggregation inhibitor” dan Thromboxane (A2) sebuah perangsang aggregasi platelet dan vasokonstriktor meningkat selama kehamilan.
Nilai rata – rata selama awal kehamilan adalah 275.000 / mm3 sampai 260.000 / mm3 pada minggu ke 35. Mean Platelet Size sedikit meningkat dan life span trombosit lebih singkat.
4. Perubahan Sistem Pembekuan Darah
Selama minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama postpartum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.
Pada minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama post partum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.
1. Perubahan Volume Darah
Dalam keadaan tidak hamil maka 70% dari berat badan adalah air.
- 5% diantaranya adalah cairan intravaskular.
- 70% adalah cairan intraseluler dan
- Sisanya adalah cairan interstisial
Dalam kehamilan, cairan intraseluler tidak berubah namun terjadi peningkatan volume darah dan cairan interstitsial.
Peningkatan volume plasma lebih besar dibandingkan peningkatan sel darah merah sehingga terjadi anemia dan peningkatan kadar protein sehingga kekentalan (viskositas) darah menurun.
2. Perubahan Vaskular Lokal
Perubahan lokal terlihat jelas pada tungkai bawah dan akibat tekanan yang ditimbulkan oleh uterus terhadap vena pelvik. Oleh karena 1/3 darah dalam sirkulasi berada dalam tungkai bawah maka peningkatan tekanan terhadap vena akan menyebabkan varises dan edema vulva dan tungkai. Keadaan ini lebih sering terjadi pada siang hari akibat sering berdiri. Keadaan ini cenderung untuk reversibel saat malam dimana pasien berada dalam keadaan berbaring : edema akan direabsorbsi – venous return meningkat dan output ginjal meningkat sehingga terjadi nocturnal diuresis. Bila pasien dalam keadaan telentang, tekanan uterus terhadap vena akan juga meningkat sehingga aliran balik ke jantung menurun dan terjadi penurunan cardiac output.
Suatu contoh ekstrim terjadi saat uterus menekan vena cava dan menurunkan CO sehingga pasien terengah-engah dan dapat menjadi tidak sadarkan diri. Dapat terjadi sensasi nause dan gejala muntah. Gejala ini – SUPINE HYPOTENSIVE SYNDROME harus senantiasa diingat saat melakukan pemeriksaan kehamilan pada pasien hamil lanjut.
3. Perubahan Haematologi
Perubahan nilai hasil pemeriksaan darah seperti nilai haemoglobin merupakan akibat dari kebutuhan kehamilan yang dipengaruhi oleh peningkatan volume plasma.
Terjadi peningkatan eritrosit sebesar 18% dan terjadi peningkatan volume plasma sebesar 45%. Dengan demikian maka terjadi penurunan hitung eritrosit per mililiter dari 4.5 juta menjadi 3.8 juta. Dengan semakin bertambahnya usia kehamilan, volume plasma semakin menurun dan hitung eritrosit menjadi sedikit meningkat sehingga kadar hematokrit selama kehamilan menurun namun sedikit meningkat menjelang aterm.
Packed Cell Volume (% ase )
Non – pregnant 40 – 42
Minggu ke 20 39
Minggu ke 30 38
Minggu ke 40 40
Perubahan kadar haemoglobin paralel dengan yang terjadi pada eritrosit. Mean Cell Haemoglobin Concentration pada keadaan non pregnant adalah 34% yang berarti bahwa setiap 100 ml eritrosit mengandung 34 g haemoglobin. Nilai ini selama kehamilan tidak berubah dengan demikian maka nilai volume eritrosit total dan haemoglobin total meningkat selama kehamilan
Selama masa kehamilan kadar haemoglobin turun sampai minggu ke 36. Penurunan ini mulai terlihat pada minggu ke 12 dan nilai minimum terlihat pada minggu ke 32.
Terlihat dari data diatas bahwa tidak ada satu nilai normal yang dapat ditemukan selama kehamilan. Fakta ini penting dalam menegakkan diagnosa anemia dalam kehamilan. Pada minggu ke 30, kadar haemoglobin sebesar 105g/l adalah normal, namun nilai tersebut pada minggu ke 20 meunjukkan adanya anemia.
Jumlah hemoglobin, hematokrit dan erytrosyt akan sangat bervariasi pada awal-awal masa postpartum sebagai akibat dari volume darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Semua tingkatan ini akan dipengaruhi oleh status gizi dan hidrasi wanita tersebut. Kira-kira selama kelahiran dan masa postpartum terjadi kehilangan darah sekitar 200-500 ml.
Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke 3-7 post partum dan akan normal dalam 4-5 minggu post partum.
Jumlah kehilangan darah selama masa persalinan kurang lebih 200-500 ml, minggu pertama post partum berkisar 500-800 ml dan selama sisa masa nifas berkisar 500 ml
- Zat Besi
Dengan peningkatan jumlah eritrosit, kebutuhan akan zat besi dalam proses produksi hemoglobin meningkat. Bila suplemen zat besi tidak diberikan, kemungkinan akan terjadi anemia defisiensi zat besi.
Kebutuhan zat besi pada paruh kedua kehamilan kira-kira 6–7 mg/hari. Bila suplemen zat besi tidak tersedia, janin akan menggunakan cadangan zat besi maternal. Sehingga anemia pada neonatus jarang terjadi ; akan tetapi defisiensi zat besi berat pada ibu dapat menyebabkan persalinan preterm, abortus, dan janin mati.
- Leukosit
Terjadi kenaikan kadar leukosit selama kehamilan dari 7.109 / l dalam keadaan tidak hamil menjadi 10.5.109 / l. Peningkatan ini hampir semuanya disebabkan oleh peningkatan sel PMN – polimorfonuclear. Pada saat inpartu, jumlah sel darah putih ini akan menjadi semakin meningkat lagi.
Leukositosis adalah meningkatmya jumlah sel-sel darh putih dimana jumlah sel darah putih dapat mencapai 15000 selama persalinan akan tetap tinggi dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum. Jumlah sel darah putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25000 atau 30000 tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami persalinan lama.
- Trombosit
Pada kehamilan terjadi thromobositopoeisis akibat kebutuhan yang meningkat.
Kadar prostacyclin (PGI2) sebuah “platelet aggregation inhibitor” dan Thromboxane (A2) sebuah perangsang aggregasi platelet dan vasokonstriktor meningkat selama kehamilan.
Nilai rata – rata selama awal kehamilan adalah 275.000 / mm3 sampai 260.000 / mm3 pada minggu ke 35. Mean Platelet Size sedikit meningkat dan life span trombosit lebih singkat.
4. Perubahan Sistem Pembekuan Darah
Selama minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama postpartum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.
Pada minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama post partum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah.
A. PERUBAHAN FISIOLOGIS SISTIM
PENCERNAAN PADA MASA NIFAS
Sistem gastrointestinal selama
kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya tingginya kadar
progesteron yang dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh, meningkatkan
kolestrol darah, dan melambatkan kontraksi otot-otot polos. Pasca melahirkan,
kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian, faal usus memerlukan
waktu 3-4 hari untuk kembali normal.
Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada
sistem pencernaan, antara lain:
- Nafsu makan.
- Motilitas.
- Pengosongan usus.
Nafsu Makan
Pasca
melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi
makanan. Ibu siap makan pada 1-2 jam post primordial, dan dapat ditoleransi
dengan diet yang ringan. Setelah benar-benar pulih dari efek analgesia,
anastesia, dan keletihan, kebanyakan ibu merasa sangat lapar. Permintaan untuk
memperoleh makanan dua kali dari jumlah yang biasa dikonsumsi disertai konsumsi
camilan yang sering ditemukan.
Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3–4 hari
sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah
melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari.
Motilitas
Secara khas,
penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang
singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan anastesia bisa memperlambat
pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.
Pengosongan Usus
Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan.
Hal ini umumnya disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan
awal masa pascapartum, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan,
kurangnya makanan berserat selama persalinan, dehidrasi, hemoroid disamping itu
rasa takut untuk buang air besar, sehubungan dengan jahitan pada perineum,
jangan sampai lepas
dan juga takut akan rasa nyeri.
Pada jam-jam pertama pasca
persalinan, ibu bersalin sangat tidak berdaya. Pemenuhan nutrisi ibu belum
dapat dilakukan melalui oral, namun 2-3
jam setelah bersalin, ibu dapat memenuhi nutrisinya dengan minum dan makan
seperti biasa, bila ingin. Saluran cerna ibu pada jam-jam pertama pasca
persalinan membutuhkan waktu untuk kembali pada fungsi normalnya.
Sistem pencernaan pada masa nifas
membutuhkan waktu yang berangsur-angsur untuk kembali normal. Pola makan ibu nifas tidak akan seperti biasa
dalam beberapa hari dan perineum ibu akan terasa sakit untuk defekasi. Faktor-faktor tersebut mendukung konstipasi
pada ibu nifas dalam minggu pertama.
Suppositoria dibutuhkan untuk membantu eliminasi pada ibu nifas. Akan tetapi proses konstipasi juga dapat
dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan ibu dan kekhawatiran lukanya akan
terbuka bila ibu buang air besar.
Beberapa
cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara lain:
- Pemberian diet / makanan yang mengandung serat.
- Pemberian cairan yang cukup.
- Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan(Buang air besar harus dilakukan 3-4 hari setelah persalinan)
- Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir.
5. Bilamana masih juga terjadi
konstipasi dan beraknya mungkin keras dapat diberikan obat laksan per oral atau
per rectal.
6. Bila masih juga belum berhasil ,
dilakukanlah klysma(klisma), enema(ing) artinya suntikan urus-urus.
B.
PERUBAHAN FISIOLOGIS SISTIM
PERKEMIHAN PADA MASA NIFAS
Pada masa
hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan meningkatkan
fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca melahirkan kadar steroid menurun
sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal
dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar
akan dihasilkan dalam waktu 12 – 36 jam sesudah melahirkan.
Hal yang
berkaitan dengan fungsi sistem perkemihan, antara lain:
1. Hemostatis
internal.
2. Keseimbangan
asam basa tubuh.
3. Pengeluaran
sisa metabolisme.
Hemostatis
internal.
Tubuh, terdiri dari air dan
unsur-unsur yang larut di dalamnya, dan 70% dari cairan tubuh terletak di dalam
sel-sel, yang disebut dengan cairan intraselular. Cairan ekstraselular terbagi
dalam plasma darah, dan langsung diberikan untuk sel-sel yang disebut cairan
interstisial.
Beberapa hal yang berkaitan dengan
cairan tubuh antara lain edema dan dehidrasi. Edema adalah tertimbunnya cairan
dalam jaringan akibat gangguan keseimbangan cairan dalam tubuh. Dehidrasi
adalah kekurangan cairan atau volume air yang terjadi pada tubuh karena
pengeluaran berlebihan dan tidak diganti.
Keseimbangan
asam basa tubuh.
Keasaman dalam tubuh disebut PH.
Batas normal PH cairan tubuh adalah 7,35-7,40. Bila PH >7,4 disebut
alkalosis dan jika PH < 7,35 disebut asidosis.
Pengeluaran
sisa metabolisme, racun dan zat toksin
ginjal.
Zat toksin ginjal mengekskresi hasil akhir dari
metabolisme protein yang mengandung nitrogen terutama urea, asam urat dan
kreatinin.
Ibu post
partum dianjurkan segera buang air kecil, agar tidak mengganggu proses involusi
uteri dan ibu merasa nyaman. Namun demikian, pasca melahirkan ibu merasa sulit
buang air kecil.
Setelah
plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun, hilangnya peningkatan
tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat
kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan.
Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum.
Saluran kencing akan kembali normal dalam
tempo 2 sampai 8 minggu, tergantung pada :
1. Keadaan/status
sebelum persalinan
2. Lamanya
partus kala II dilalui
3. Besarnya
tekanan kepala yang menekan pada saat
persalinan
Disamping
itu, dari hasil pemeriksaan sistoscopic segera setelah persalinan tidak
menunjukkan adanya edema dan hyperemia dinding vesica urinaria, akan tetapi
sering terjadi extravasasi (extravasation, artinya keluarnya darah dari
pembuluh-pembuluh darah didalam badan) kemukosa.
Lagipula
vesica urinaria masa nifas mempunyai kapasitas bertambah besar dan relative
tidak sensitive terhadap tekanan cairan intra vesica. Oleh sebab itu
pengembangannya yang berlebihan, terutama karena analgesia dan gangguan fungsi
neural, sementara pada vesica urinaria memang merupakan factor-faktor
penunjang.
Adanya urine
residual dan bacteriuria pada vesica urinaria yang mengalami cidera, ditambah
dengan dilatasi pelvis renalis dan ureter, membentuk kondisi yang optimal untuk
tumbuhnya infeksi saluran kencing. Ureter
dan pelvis renalis yang mengalami dilatasi kembali ke keadaan sebelum
hamil mulai dari 2 sampai 8 minggu setelah persalinan.
Pengaruh
persalinan pada fungsi vesica urinaria post partum, yang dipelajari menggunakan
tekhnik urodinamik, dapat diketahui bahwa bila persalinan lama dapat dihindari,
dan bila dilakukan katerisasi secepatnya dikerjakan, pada vesica urinaria yang
besar, maka tidak akan terjadi hipotonia vesica urinaria, meskipun dilaporkan pula dari hasil
mempelajari dengan cara tersebut diatas , bahwa analgesia epidural tidak
merupakan prediposisi hipotonia vesica urinaria postpartum.
Dari
penelitian terdahulu 35% wanita yang
menerima analgesia epidural mengalami retensi urine asymthomatik. Jadi tampak
bahwa perhatian yang teliti pada semua wanita post partum dengan katerisasi
cepat untuk yang tidak dapat kencing akan mencegah banyak masalah saluran
kencing. peregangan dan delatasi selama kehamilan, tidak menyebabkan perubahan
permanen di pelvis renalis dan ureter kecuali
yang saat itu pun terkena infeksi.
Ada kalanya
edema dari trigonum menimbulkan obstruksi pada
uretra sehingga terjadi retensio urine. Vesica urinaria dalam puerporium
kurang sensitive dan kapasitasnya bertambah, sehingga vesica urinaria penuh
atau sesudah kencing masih ada sisa urine residu.
Sisa urine
ini dan adanya trauma pada vesica urinaria ketika persalinan, memudahkan
terjadinya infeksi. Dilatasi ureter (dilatasion(n), L(ing=pelebaran) dan
pyclum(pasu ginjal) normal kembali dalam
waktu 2-4 minggu post partum.
Kira-kira
40% wanita postpartum mempunyai proteinuria fisiologis (dalam 1-2 hari). Demi
pemeriksaan laboratorium yang akurat, specimen di ambil langsung dari kateter
agar tidak terkontaminasi dengan lochia. Keadaan atau kondisi fisiologis dari
proteinuria dapat diasumsikan hanya apabila tidak ada gejala dan tanda-tanda
UTI (ISK) atau PE.
1. Distensi (distention=peregangan)
berlebihan pada vesica urinaria adalah hal yang umum terjadi karena peningkatan
kapasitas vesica urinaria, pembengkakan memar jaringan di sekitar uretra dan hilangnya sensasi
terhadap tekanan meninggi .
a) Vesica urinaria yang penuh menggeser
uterus dan dapat menyebabkan perdarahan post partum, distensi vesica urinaria
dapat disebabkan oleh retensi urine.
b) Pengosongan vesica urinaria yang
adekuat umumnya kembali dalam 5-7 hari setelah terjadi pemulihan jaringan yang
bengkak dan memar.
2. Laju filtrasi glomerulus (GFR) tetap
meninggi selama kurang lebih 7 hari post partum.
3. Ureter yang berdilatasi dan pelvis renal
kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6-10 minggu setelah melahirkan.
4. Diaphoresis puerperalis
(pembentukkan keringat ibu nifas) terjadi dalam
24 jam pertama setelah melahirkan. Kehilangan cairan melalui keringat
dan peningkatan jumlah urin menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg
selama masa pasca partum. Pengeluaran kelebihan cairan yang tertimbun selama
hamil kadang-kadang disebut kebalikan metabolisme air pada masa hamil (reversal
of the water metabolisme of pregnancy).
Rortveit dkk
(2003) menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada pasien dengan
persalinan pervaginam sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada
persalinan dengan Sectio Caesar. Sepuluh persen pasien pasca persalinan
menderita inkontinensia (biasanya stres inkontinensia) yang kadang-kadang
menetap sampai beberapa minggu pasca persalinan. Untuk mempercepat penyembuhan
keadaan ini dapat dilakukan latihan pada otot dasar panggul.
Bila wanita
pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan
mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter selama 24 jam.
Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi
dan bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses
urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila
volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih
seperti biasa.
A.
Perubahan Fisiologi Ibu Nifas
pada Sistem Muskuloskeletal
Adaptasi
sistem muskuloskeletal pada masa nifas, meliputi:
- Dinding perut dan peritoneum.
- Kulit abdomen.
- Striae.
- Perubahan ligamen.
- Simpisis pubis.
Dinding
perut dan peritoneum
Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini
akan pulih kembali dalam 6 minggu. Pada wanita yang asthenis terjadi diastasis
dari otot-otot rectus abdominis, sehingga sebagian dari dinding perut di garis
tengah hanya terdiri dari peritoneum, fasia tipis dan kulit.
Kulit
abdomen
Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan melebar, melonggar
dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen dapat
kembali normal kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan dengan latihan
post natal.
Striae
Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut
pada dinding abdomen. Striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang
sempurna melainkan membentuk garis lurus yang samar. Tingkat diastasis muskulus
rektus abdominis pada ibu post partum dapat dikaji melalui keadaan umum,
aktivitas, paritas dan jarak kehamilan, sehingga dapat membantu menentukan lama
pengembalian tonus otot menjadi normal.
Perubahan
ligament
Setelah janin lahir, ligamen-ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang meregang
sewaktu kehamilan dan partus berangsur-angsur menciut kembali seperti
sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan
letak uterus menjadi retrofleksi.
Simpisis
pubis
Pemisahan simpisis pubis jarang terjadi. Namun demikian, hal
ini dapat menyebabkan morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simpisis pubis
antara lain: nyeri tekan pada pubis disertai peningkatan nyeri saat bergerak di
tempat tidur ataupun waktu berjalan. Pemisahan simpisis dapat dipalpasi. Gejala
ini dapat menghilang setelah beberapa minggu atau bulan pasca melahirkan,
bahkan ada yang menetap.
B.
Beberapa Gejala Muskuloskeletal
Yang Timbul Pada Masa Pascapartum
Terdapat beberapa gejala musculoskeletal
yang dapat terjadi pada periode pascapartum, diantaranya adalah:
1.
Nyeri punggung bawah
Nyeri punggung merupakan gejala pasca partum jangka panjang
yang sering terjadi. Hal ini disebabkan adanya ketegangan postural pada sistem
muskuloskeletal akibat posisi saat persalinan.
Penanganan:
Selama kehamilan, wanita yang mengeluh nyeri punggung
sebaiknya dirujuk pada fisioterapi untuk mendapatkan perawatan. Anjuran
perawatan punggung, posisi istirahat, dan aktifitas hidup sehari-hari penting
diberikan. Pereda nyeri elektroterapeutik dikontraindikasikan selama kehamilan,
namun mandi dengan air hangat dapat menberikan rasa nyaman pada pasien.
2.
Sakit kepala dan nyeri leher
Pada minggu pertama dan tiga bulan setelah melahirkan, sakit
kepala dan migrain bisa terjadi. Gejala ini dapat mempengaruhi aktifitas dan
ketidaknyamanan pada ibu post partum. Sakit kepala dan nyeri leher yang jangka
panjang dapat timbul akibat setelah pemberian anestasi umum
3.
Nyeri pelvis posterior
Nyeri pelvis posterior ditunjukan untuk rasa nyeri dan disfungsi
area sendi sakroiliaka. Gejala ini timbul sebelum nyeri punggung bawah dan
disfungsi simfisis pubis yang ditandai nyeri di atas sendi sakroiliaka pada
bagian otot penumpu berat badan serta timbul pada saat membalikan tubuh di
tempat tidur. Nyeri ini dapat menyebar ke bokong dan paha posterior.
Penanganan:
Pemakaian ikat (sabuk) sakroiliaka penyokong dapat membantu
untuk mengistirahatkan pelvis. Mengatur posisi yang nyaman saat istirahat
maupun bekerja, serta mengurangi aktifitas dan posisi yang dapat memacu rasa
nyeri.
4. Disfungsi simfisis pubis
Merupakan istilah yang menggambarkan gangguan fungsi sendi
simfisis pubis dan nyeri yang dirasakan di sekitar area sendi. Fungsi sendi
simfisis pubis adalah menyempurnakan cincin tulang pelvis dan memindahkan berat
badan melalui pada posisis tegak. Bila sendi ini tidak menjalankan fungsi
semestinya, akan terdapat fungsi/stabilitas pelvis yang abnormal, diperburuk
dengan terjadinya perubahan mekanis, yang dapat mrmpengaruhi gaya berjalan
suatu gerakan lembut pada sendi simfisis pubis untuk menumpu berat badan dan
disertai rasa nyeri yang hebat
Penanganan:
Tirah baring selama mungkin; pemberian pereda nyeri;
perawatan ibu dan bayi yang lengkap; rujuk ke ahli fisioterapi untuk latihan
abdomen yang tepat; latihan meningkatkan sirkulasi; mobilisasi secara bertahap;
pemberian bantuan yang sesuai.
5.
Diastasis rekti
Diastasis rekti adalah pemisahan otot rektus abdominis lebih
dari 2,5 cm pada tepat setinggi umbilikus (Noble, 1995) sebagai akibat pengaruh
hormon terhadap linea alba serta akibat perenggangan mekanis dinding abdomen.
Kasus ini sering terjadi pada multi paritas, bayi besar, poli hidramnion,
kelemahan otot abdomen dan postur yang salah. Selain itu, juga disebabkan
gangguan kolagen yang lebih ke arah keturunan, sehingga ibu dan anak mengalami
diastasis.
Penanganan :
Melakukan pemeriksaan rektus untuk mengkaji lebar celah
antara otot rektus; memasang penyangga tubigrip (berlapis dua jika perlu), dari
area xifoid sternum sampai di bawah panggul; latihan transversus dan pelvis
dasar sesering mungkin, pada semua posisi, kecuali posisi telungkup-lutut;
memastikan tidak melakukan latihan sit-up atau curl-up; mengatur ulang kegiatan
sehari–hari, menindaklanjuti pengkajian oleh ahli fisioterapi selama
diperlukan.
6.
Osteoporosis akibat kehamilan
Osteoporosis timbul pada trimester ketiga atau pasca natal.
Gejala ini ditandai dengan nyeri, fraktur tulang belakang dan panggul, serta
adanya hendaya (tidak dapat berjalan), ketidakmampuan mengangkat atau menyusui
bayi pasca natal, berkurangnya tinggi badan, postur tubuh yang buruk. .
7.
Disfungsi dasar panggul
Disfungsi dasar panggul, meliputi :
- Inkontinensia urin.
- Inkontinensia alvi.
- Prolaps.
Inkontinensia urin
Inkontinensia urin adalah keluhan
rembesan urin yang tidak disadari. Masalah berkemih yang paling umum dalam
kehamilan dan pasca partum adalah inkontinensia stress.
Terapi : selama masa antenatal, ibu
harus diberi pendidikan mengenai dan dianjurkan untuk mempraktikan latihan otot
dasar panggul dan transversus sesering mungkin, memfiksasi otot ini serta otot
transversus selam melakukan aktivitas yang berat. Selama masa pasca natal, ibu
harus dianjurkan untuk mempraktikan latihan dasar panggul dan transversus
segera setelah persalinan. Bagi ibu yang tetap menderita gejala ini disarankan
untuk dirujuk ke ahli fisioterapi yang akan mengkaji keefektifan otot dasar
panggul dan memberi saran tentang program retraining yang meliputi biofeedback
dan stimulasi.
Inkontinensia alvi
Inkontinensia alvi disebabkan oleh
robeknya atau merenggangnya sfingter anal atau kerusakan yang nyata pada suplai
saraf dasar panggul selama persalinan (Snooks et al, 1985)
Penanganan : rujuk ke ahli
fisioterapi untuk mendapatkan perawatan khusus.
Prolaps.
Prolaps genetalia dikaitkan dengan persalinan per vagina yang dapat menyebabkan peregangan dan kerusakan pada fasia dan persarafan pelvis. Prolaps uterus adalah penurunan uterus. Sistokel adalah prolaps kandung kemih dalam vagina, sedangkan rektokel adalah prolaps rektum kedalam vagina (Thakar & Stanton, 2002).
Prolaps genetalia dikaitkan dengan persalinan per vagina yang dapat menyebabkan peregangan dan kerusakan pada fasia dan persarafan pelvis. Prolaps uterus adalah penurunan uterus. Sistokel adalah prolaps kandung kemih dalam vagina, sedangkan rektokel adalah prolaps rektum kedalam vagina (Thakar & Stanton, 2002).
Gejala yang dirasakan wanita yang
menderita prolaps uterus antara lain: merasakan ada sesuatu yang turun ke bawah
(saat berdiri), nyeri punggung dan sensasi tarikan yang kuat
Penanganan: prolaps ringan dapat
diatasi dengan latihan dasar panggul.
Intervensi Dalam
Menghadapi Perubahan Fisiologi Masa Nifas
1.
Rasa Nyaman
Kebanyakan
Ibu mengalami nyeri segera setelah mengalami persalinan.Penyebab umum nyeri
meliputi nyeri pasca melahirkan sampai pembesaran payudara. Intervensi yang
dapat dilakukan diantaranya dengan memberikan kompres hangat ,distraksi,
membayangkan sesuatu, sentuhan terapiutik, relaksasidan interaksi dengan baik
bisa mengurangi nyeri yang ditimbulkan kontraksi rahim. Intervensi lain yang
bisa diberikan adalah dengan pemberian obat analgesik.
Bila
wanita mengeluh tentang adanya afterpains,dapat diberi analgetika atau sedatifa
supaya ia dapat beristirahat atau tidur
2.
Istirahat
Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggosok-gosok punggung, tindakan lain yang dapat memberi kenikmatan selama beberapa malam pertama setelah melahirkan
Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggosok-gosok punggung, tindakan lain yang dapat memberi kenikmatan selama beberapa malam pertama setelah melahirkan
3.
Ambulasi
Intervensi ini bermanfaat untuk mengurangi insiden tromboembolisme dan mempercepat pemulihan kekuatan ibu.
Intervensi ini bermanfaat untuk mengurangi insiden tromboembolisme dan mempercepat pemulihan kekuatan ibu.
B.Perubahan dalam
system Endokrin selama Masa Nifas
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan
pada sistem endokrin. Hormon-hormon yang berperan pada proses tersebut, antara
lain:
- Hormon plasenta.
- Hormon pituitary.
- Hipotalamik pituitary ovarium.
- Hormon oksitosin.
- Hormon estrogen dan progesterone
Hormon plasenta
Pengeluaran
plasenta menyebabkan penurunan hormon yang diproduksi oleh plasenta. Hormon
plasenta menurun dengan cepat pasca persalinan. Penurunan hormon plasenta
(human placental lactogen) menyebabkan kadar gula darah menurun pada masa
nifas. Human Chorionic Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan menetap
sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke-7 post partum dan sebagai onset pemenuhan
mamae pada hari ke-3 post partum.
Hormon pituitary
Hormon
pituitary antara lain: hormon prolaktin, FSH dan LH. Hormon prolaktin darah
meningkat dengan cepat, pada wanita tidak menyusui menurun dalam waktu 2
minggu. Hormon prolaktin berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang
produksi susu. FSH dan LH meningkat pada fase konsentrasi folikuler pada minggu
ke-3, dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi.
Hipotalamik pituitary ovarium
Hipotalamik
pituitary ovarium akan mempengaruhi lamanya mendapatkan menstruasi pada wanita
yang menyusui maupun yang tidak menyusui. Pada wanita manyusui mendapatkan
menstruasi pada 6 minggu pasca melahirkan berkisar 16% dan 45% setelah 12
minggu pasca melahirkan. Sedangkan pada wanita yang tidak menyusui, akan
mendapatkan menstruasi berkisar 40% setelah 6 minggu pasca melahirkan dan 90%
setelah 24 minggu.
Hormon oksitosin
Hormon
oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang, bekerja terhadap
otot uterus dan jaringan payudara. Selama tahap ketiga persalinan, hormon
oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi,
sehingga mencegah perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan
sekresi oksitosin, sehingga dapat membantu involusi uteri.
Hormon estrogen dan progesterone
Volume
darah normal selama kehamilan, akan meningkat. Hormon estrogen yang tinggi
memperbesar hormon anti diuretik yang dapat meningkatkan volume darah.
Sedangkan hormon progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi
perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi saluran
kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineum dan vulva serta
vagina.